Masih ingat dengan program substitusi minyak tanah dengan LPG (liquefied
petroleum gas) pada tahun 2007? Program tersebut berimbas terhadap
kebutuhan LPG yang terus meningkat dari tahun ke tahun di sektor rumah
tangga, seiring pertumbuhan jumlah penduduk.
Menurut Outlook
Energi Indonesia 2012 yang disusun Badan Pengkajian dan Penerapan
Teknologi (BPPT), pada akhir 2012, total paket LPG (tabung, regulator,
selang, dan kompor) yang telah didistribusikan mencapai 53,9 paket.
Peranan LPG diperkirakan akan terus meningkat dengan laju pertumbuhan 5
persen per tahun dan pangsanya menjadi 21 persen pada 2030.
Pada
skenario dasar pertumbuhan ekonomi 7,6 persen per tahun, kebutuhan LPG
diperkirakan meningkat hingga 11 juta ton pada 2030 dengan didominasi
sektor rumah tangga sebesar 89 persen. Runyamnya, walaupun produksi LPG
dari kilang domestik diperkirakan meningkat sebesar 4,2 juta ton per
tahun, sumber energi ini masih harus impor sebesar 55 persen pada 2030.
Pada
2030, impor LPG mencapai 56 juta SBM (setara barel minyak) atau 63
persen dari konsumsi domestik. "Lebih 50 persen masih impor dengan harga
yang tinggi," ungkap Kepala Bidang Energi Baru Terbarukan PTPSE-TIEM
BPPT, Erlan Rosyadi, awal pekan lalu di Jakarta.
Ramalan BPPT
berdasarkan business as usual tersebut akan menjadi kenyataan bila tidak
ada terobosan mulai dari sekarang untuk menggenjot penggunaan energi
baru terbarukan (EBT) sebagai komplementer maupun subtistusi dari LPG.
Nah,
DME (Dimethyl Ether) merupakah sumber energi bersih dan ramah
lingkungan yang memunyai karakteristik mirip dengan LPG. Penyimpanan DME
tidak berbeda jauh dengan penanganan LPG yang telah banyak dipakai
sebagai bahan bakar rumah tangga.
Istimewanya, DME merupakan
senyawa ether yang dapat diproduksi dari EBT biomassa, yaitu bahan
organik yang dihasilkan melalui proses fotosintesis, baik berupa produk
maupun buangan. Biomassa dikategorikan EBT karena bahan organik
(tumbuhan) dapat kembali tumbuh pada lahan yang sama.
Biomassa
dianggap sebagai karbon netral. Menurut kajian Japan Institut of Energy,
biomassa membentuk bagiannya sendiri melalui fotosintesis. Konsentrasi
karbon di atmosfer tidak akan berubah karena pada saat tanaman tumbuh
akan menyerap karbon dan mengembalikannya ketika dibakar.
Bersyukur,
potensi biomassa di Indonesia sangat melimpah. Berdasarkan data
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), potensi produksi
biomassa mencapai 65, juta ton per tahun.
EBT sebagai bahan baku
DME tersebut dapat diperoleh dari peremajaan kebun karet, sisa lodging,
limbah industri penggergajian kayu, tandan kosong kelapa sawit, sabut
sisa kelapa sawit, cangkang buah sawit, bagas tebu, sekam padi,
tempurung kelapa, serta sabut kelapa.
Proses Pembuatan
Proses
pembuatan DME dari sumber biomassa tersebut ada dua cara, yaitu tidak
langsung maupun langsung. Kepala program DME PTPSE, BPPT, Rohmadi Ridlo,
menjelaskan proses tidak langsung dapat melalui gasifikasi untuk
mengonversi material karbon dari biomassa ke dalam karbon monoksida (CO)
dan hidrogen (H2).
Caranya, dengan mereaksikan material biomassa
pada temperatur tinggi yang terkontrol oksigennya melalui suatu
reaktor. Hasil pereaksian tersebut adalah campuran gas yang disebut gas
sitesis atau syngas.
"Apabila nilai kalor dari suatu biomassa
tinggi, otomatis hasil syngas akan semakin banyak," jelas Rohmadi.
Selanjutnya, syngas dikonversi lagi melalui proses sedemikian rupa
menjadi metanol. Selanjutnya, metanol diolah menjadi DME.
Adapun
proses pembuatan DME dari sumber biomassa secara langsung diproduksi
dari syngas, tanpa diubah dulu menjadi metanol. "Proses pembuatan DME
dari sumber biomassa yang memungkinkan diterapkan di Indonesia adalah
cara tidak langsung," jelas Rohmadi.
Berdasarkan kajian LEMIGAS,
Kementerian ESDM, peluang DME sebagai bahan bakar komplementer LPG untuk
sektor rumah tangga sangat besar. LEMIGAS telah melakukan pengujian DME
pada kompor LPG yang ada di pasaran dengan hasil yang bervariasi.
LPG
dapat dicampur DME (LPG-Mix-DME) dengan prosentase 5 persen, 10 persen,
15 persen, 20 persen, 25 persen, 30 persen, 50 persen. Dari beberapa
uji coba tersebut, LEMIGAS merekomendasikan untuk menggunakan campuran 5
persen DME karena tidak perlu melakukan modifikasi peralatan yang sudah
ada.
Sementara itu, BPPT merekomendasikan untuk menggunakan
campuran 20 persen DME karena dapat dipakai secara langsung di kompor
LPG di pasaran dan tanpa mengurangi kinerjanya. "Penggunaan campuran 20
persen DME dengan catatan seal pada tabung harus memunyai standar
khusus," ujar Erlan.
Tantangan
Namun, lanjut Rohmadi,
karena keberadaan biomassa di Indonesia tersebar, sedangkan produksi DME
membutuhkan skala ekonomi, kemungkinan untuk menggunakannya sebagai
bahan baku butuh biaya besar untuk transportasi.
Padahal, harga
DME di pasaran harus lebih murah dari LPG. "Nilai kalor DME dua per tiga
(2/3) lebih rendah dari LPG. Dengan demikian, harga DME juga harus dua
per tiga dari LPG sehingga bisa bersaing di pasaran," kata Rohmadi.
Kendala
lain pengembangan DME dari biomassa ini karena peluang untuk diolah
sedemikian rupa menjadi produk lainnya, seperti pupuk, briket arang, dan
produk kimia untuk subtitusi senyawa petrokimia.
"Bagi
perusahaan di bidang perkebunan maupun pertanian, biomassa lebih
menguntungkan jika diolah menjadi pupuk untuk mendukung keberlanjutan,"
ujar Rohmadi. Tapi, BPPT belum melakukan kajian secara mendalam apakah
biomassa ini lebih menguntungkan dijadikan DME atau produk lainnya.
Walau
begitu, lanjut Erlan, peluang untuk mengembangkan DME dari biomassa
masih terbuka lebar jika ada dukungan dari pemerintah untuk memberikan
insentif bagi pelaku usaha yang mengembangkannya.
Pada sisi lain,
gerakan pengembangan EBT untuk menopang pertumbuhan ekonomi suatu
negara tanpa mengorbankan aspek lingkungan dan sosial semakin terasa di
belahan dunia. Bagi negara yang tidak menyesuaikan diri dengan
globalisasi akan tergilas dalam persaingan yang semakin keras.
"Arus
ini tidak bisa dibendung lagi karena standar dunia akan mengarah pada
sustainable energy," tandas Erlan. Oleh karena itu, pemerintah Indonesia
harus lebih serius mengembangkan EBT sebagai energi masa depan. agung
wredho
Belajar dari Negeri Tirai Bambu
China menggunakan strategi energi yang paralel, antara "hitam" dan "hijau".
Kalaupun
masih sulit untuk memosisikan EBT sebagai sumber energi utama penggerak
roda perekonomian tanpa mengorbankan aspek lingkungan dan sosial,
setidaknya menyeimbangkan EBT dengan energi fosil. Praktik tersebut bisa
dipelajari dari kebijakan energi di negeri tirai bambu.
China
memiliki potensi sumber daya energi sekaligus sebagai konsumen energi
yang besar. Pasalnya, China punya penduduk yang besar dan berbagai
kegiatan pembangunannya.
"China menggunakan strategi energi yang
paralel, antara 'hitam' dan 'hijau'. Di satu sisi, China menggeber
penggunaan energi fosil (batu bara) dengan sangat kencang, sementara
investasinya di energi terbarukan juga sangat masif," kata penggiat
pembangunan berkelanjutan dari Lingkar Studi CSR, Jalal, belum lama ini.
Salah
satu hal yang dilakukan oleh China untuk mengamankan pasokan energinya
di masa mendatang adalah dengan impor energi dari negara-negara yang
menjual sumber-sumber energinya, termasuk Indonesia.
Kini,
Indonesia telah menjual batu baranya ke China dalam jumlah yang besar,
dan kecenderungannya juga meninggi. Hal itu bisa dimaklumi mengingat
produksi batu bara nasional pada 2010 adalah 275 juta ton yang sebagian
besar di ekspor, hanya 26 persen untuk keperluan dalam negeri sebagai
pembangkit listrik.
Berdasarkan kajian BPPT, produksi batu bara
China sekitar 3,2 miliar ton pada 2011 dan konsumsinya lebih dari
produksinya. "Konsumsi itu akan terus meningkat hingga 4 miliar ton pada
2020," kata Deputi Kepala BPPT Bidang Teknologi Informasi, Energi dan
Material (TIEM), Unggul Priyanto, awal November lalu.
Negara yang
bakal memunyai pemimpin baru bernama Xi Jinping untuk satu dekade
mendatang ini, memanfaatkan sebagian dari batu bara tersebut sebagai
bahan baku DME. China telah menguasai teknologi proses pembuatan DME
dari bahan baku batu bara ini yang tidak berbeda dengan biomassa
China
mengembangkan DME secara komersial sejak 1993 untuk keperluan bahan
bakar domestik. DME dicampur LPG untuk keperluan bahan bakar rumah
tangga. "Di China, DME telah diproduksi dalam jumlah besar, dengan harga
yang lebih rendah daripada LPG. Mereka mencapur DME dengan LPG dan
telah diperdagangkan," ungkap Kepala Bidang Energi Baru Terbarukan
PTPSE-TIEM BPPT, Erlan Rosyadi.
Aplikasi di Indonesia
Bahan
baku DME dari batu bara ini, kata Kepala program DME PTPSE, BPPT,
Rohmadi Ridlo, sangat memungkinkan dikembangkan di Indonesia. Pasalnya,
keberadaan batu bara ini terpusat dan produksinya cukup besar. Batu bara
ini akan memiliki nilai tambah jika diolah menjadi DME.
"Harga
batu bara di pasaran sekitar 400 rupiah per kilogram, sedangkan untuk
mengubahnya menjadi sekitar satu kilogram DME seharga sekitar 8.000 ribu
rupiah dibutuhkan sekitar dua hingga tiga kilogram," kata Rohmadi.
Dari
kelayakan bisnis tersebut, bahan baku DME dari batu bara bisa segara
diaplikasikan di Indonesia. Dalam focus group discussion pemanfaatan DME
sebagai bahan bakar di Jakarta, medio November lalu, diungkapkan
sekarang ini status pengembangan DME sedang disusun Peraturan Menteri
ESDM tentang penyediaan, pemanfaatan, dan tata niaga DME.
Ditjen
Migas bersama dengan Badan Standardisasi Nasional (BSN) dan Kementerian
Perindustrian sedang melakukan penyusunan standar infrastruktur
penyediaan, pemanfaatan, serta spesifikasi DME. Untuk spesifikasi DME
akan ditetapkan setelah spesifikasi peralatan dari BSN dan Kementerian
Perindustrian selesai. agung wredho
Sumber : http://koran-jakarta.com/index.php/detail/view01/106414
Tidak ada komentar:
Posting Komentar