Senin, 18 Maret 2013

DME, Energi Bersih Pelengkap LPG

Masih ingat dengan program substitusi minyak tanah dengan LPG (liquefied petroleum gas) pada tahun 2007? Program tersebut berimbas terhadap kebutuhan LPG yang terus meningkat dari tahun ke tahun di sektor rumah tangga, seiring pertumbuhan jumlah penduduk.

Menurut Outlook Energi Indonesia 2012 yang disusun Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), pada akhir 2012, total paket LPG (tabung, regulator, selang, dan kompor) yang telah didistribusikan mencapai 53,9 paket. Peranan LPG diperkirakan akan terus meningkat dengan laju pertumbuhan 5 persen per tahun dan pangsanya menjadi 21 persen pada 2030.

Pada skenario dasar pertumbuhan ekonomi 7,6 persen per tahun, kebutuhan LPG diperkirakan meningkat hingga 11 juta ton pada 2030 dengan didominasi sektor rumah tangga sebesar 89 persen. Runyamnya, walaupun produksi LPG dari kilang domestik diperkirakan meningkat sebesar 4,2 juta ton per tahun, sumber energi ini masih harus impor sebesar 55 persen pada 2030.

Pada 2030, impor LPG mencapai 56 juta SBM (setara barel minyak) atau 63 persen dari konsumsi domestik. "Lebih 50 persen masih impor dengan harga yang tinggi," ungkap Kepala Bidang Energi Baru Terbarukan PTPSE-TIEM BPPT, Erlan Rosyadi, awal pekan lalu di Jakarta.

Ramalan BPPT berdasarkan business as usual tersebut akan menjadi kenyataan bila tidak ada terobosan mulai dari sekarang untuk menggenjot penggunaan energi baru terbarukan (EBT) sebagai komplementer maupun subtistusi dari LPG.

Nah, DME (Dimethyl Ether) merupakah sumber energi bersih dan ramah lingkungan yang memunyai karakteristik mirip dengan LPG. Penyimpanan DME tidak berbeda jauh dengan penanganan LPG yang telah banyak dipakai sebagai bahan bakar rumah tangga.

Istimewanya, DME merupakan senyawa ether yang dapat diproduksi dari EBT biomassa, yaitu bahan organik yang dihasilkan melalui proses fotosintesis, baik berupa produk maupun buangan. Biomassa dikategorikan EBT karena bahan organik (tumbuhan) dapat kembali tumbuh pada lahan yang sama.

Biomassa dianggap sebagai karbon netral. Menurut kajian Japan Institut of Energy, biomassa membentuk bagiannya sendiri melalui fotosintesis. Konsentrasi karbon di atmosfer tidak akan berubah karena pada saat tanaman tumbuh akan menyerap karbon dan mengembalikannya ketika dibakar.

Bersyukur, potensi biomassa di Indonesia sangat melimpah. Berdasarkan data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), potensi produksi biomassa mencapai 65, juta ton per tahun.

EBT sebagai bahan baku DME tersebut dapat diperoleh dari peremajaan kebun karet, sisa lodging, limbah industri penggergajian kayu, tandan kosong kelapa sawit, sabut sisa kelapa sawit, cangkang buah sawit, bagas tebu, sekam padi, tempurung kelapa, serta sabut kelapa.

Proses Pembuatan

Proses pembuatan DME dari sumber biomassa tersebut ada dua cara, yaitu tidak langsung maupun langsung. Kepala program DME PTPSE, BPPT, Rohmadi Ridlo, menjelaskan proses tidak langsung dapat melalui gasifikasi untuk mengonversi material karbon dari biomassa ke dalam karbon monoksida (CO) dan hidrogen (H2).

Caranya, dengan mereaksikan material biomassa pada temperatur tinggi yang terkontrol oksigennya melalui suatu reaktor. Hasil pereaksian tersebut adalah campuran gas yang disebut gas sitesis atau syngas.

"Apabila nilai kalor dari suatu biomassa tinggi, otomatis hasil syngas akan semakin banyak," jelas Rohmadi. Selanjutnya, syngas dikonversi lagi melalui proses sedemikian rupa menjadi metanol. Selanjutnya, metanol diolah menjadi DME.

Adapun proses pembuatan DME dari sumber biomassa secara langsung diproduksi dari syngas, tanpa diubah dulu menjadi metanol. "Proses pembuatan DME dari sumber biomassa yang memungkinkan diterapkan di Indonesia adalah cara tidak langsung," jelas Rohmadi.

Berdasarkan kajian LEMIGAS, Kementerian ESDM, peluang DME sebagai bahan bakar komplementer LPG untuk sektor rumah tangga sangat besar. LEMIGAS telah melakukan pengujian DME pada kompor LPG yang ada di pasaran dengan hasil yang bervariasi.

LPG dapat dicampur DME (LPG-Mix-DME) dengan prosentase 5 persen, 10 persen, 15 persen, 20 persen, 25 persen, 30 persen, 50 persen. Dari beberapa uji coba tersebut, LEMIGAS merekomendasikan untuk menggunakan campuran 5 persen DME karena tidak perlu melakukan modifikasi peralatan yang sudah ada.

Sementara itu, BPPT merekomendasikan untuk menggunakan campuran 20 persen DME karena dapat dipakai secara langsung di kompor LPG di pasaran dan tanpa mengurangi kinerjanya. "Penggunaan campuran 20 persen DME dengan catatan seal pada tabung harus memunyai standar khusus," ujar Erlan.

Tantangan

Namun, lanjut Rohmadi, karena keberadaan biomassa di Indonesia tersebar, sedangkan produksi DME membutuhkan skala ekonomi, kemungkinan untuk menggunakannya sebagai bahan baku butuh biaya besar untuk transportasi.

Padahal, harga DME di pasaran harus lebih murah dari LPG. "Nilai kalor DME dua per tiga (2/3) lebih rendah dari LPG. Dengan demikian, harga DME juga harus dua per tiga dari LPG sehingga bisa bersaing di pasaran," kata Rohmadi.

Kendala lain pengembangan DME dari biomassa ini karena peluang untuk diolah sedemikian rupa menjadi produk lainnya, seperti pupuk, briket arang, dan produk kimia untuk subtitusi senyawa petrokimia.

"Bagi perusahaan di bidang perkebunan maupun pertanian, biomassa lebih menguntungkan jika diolah menjadi pupuk untuk mendukung keberlanjutan," ujar Rohmadi. Tapi, BPPT belum melakukan kajian secara mendalam apakah biomassa ini lebih menguntungkan dijadikan DME atau produk lainnya.

Walau begitu, lanjut Erlan, peluang untuk mengembangkan DME dari biomassa masih terbuka lebar jika ada dukungan dari pemerintah untuk memberikan insentif bagi pelaku usaha yang mengembangkannya.

Pada sisi lain, gerakan pengembangan EBT untuk menopang pertumbuhan ekonomi suatu negara tanpa mengorbankan aspek lingkungan dan sosial semakin terasa di belahan dunia. Bagi negara yang tidak menyesuaikan diri dengan globalisasi akan tergilas dalam persaingan yang semakin keras.

"Arus ini tidak bisa dibendung lagi karena standar dunia akan mengarah pada sustainable energy," tandas Erlan. Oleh karena itu, pemerintah Indonesia harus lebih serius mengembangkan EBT sebagai energi masa depan. agung wredho

Belajar dari Negeri Tirai Bambu

China menggunakan strategi energi yang paralel, antara "hitam" dan "hijau".

Kalaupun masih sulit untuk memosisikan EBT sebagai sumber energi utama penggerak roda perekonomian tanpa mengorbankan aspek lingkungan dan sosial, setidaknya menyeimbangkan EBT dengan energi fosil. Praktik tersebut bisa dipelajari dari kebijakan energi di negeri tirai bambu.

China memiliki potensi sumber daya energi sekaligus sebagai konsumen energi yang besar. Pasalnya, China punya penduduk yang besar dan berbagai kegiatan pembangunannya.

"China menggunakan strategi energi yang paralel, antara 'hitam' dan 'hijau'. Di satu sisi, China menggeber penggunaan energi fosil (batu bara) dengan sangat kencang, sementara investasinya di energi terbarukan juga sangat masif," kata penggiat pembangunan berkelanjutan dari Lingkar Studi CSR, Jalal, belum lama ini.

Salah satu hal yang dilakukan oleh China untuk mengamankan pasokan energinya di masa mendatang adalah dengan impor energi dari negara-negara yang menjual sumber-sumber energinya, termasuk Indonesia.

Kini, Indonesia telah menjual batu baranya ke China dalam jumlah yang besar, dan kecenderungannya juga meninggi. Hal itu bisa dimaklumi mengingat produksi batu bara nasional pada 2010 adalah 275 juta ton yang sebagian besar di ekspor, hanya 26 persen untuk keperluan dalam negeri sebagai pembangkit listrik.

Berdasarkan kajian BPPT, produksi batu bara China sekitar 3,2 miliar ton pada 2011 dan konsumsinya lebih dari produksinya. "Konsumsi itu akan terus meningkat hingga 4 miliar ton pada 2020," kata Deputi Kepala BPPT Bidang Teknologi Informasi, Energi dan Material (TIEM), Unggul Priyanto, awal November lalu.

Negara yang bakal memunyai pemimpin baru bernama Xi Jinping untuk satu dekade mendatang ini, memanfaatkan sebagian dari batu bara tersebut sebagai bahan baku DME. China telah menguasai teknologi proses pembuatan DME dari bahan baku batu bara ini yang tidak berbeda dengan biomassa

China mengembangkan DME secara komersial sejak 1993 untuk keperluan bahan bakar domestik. DME dicampur LPG untuk keperluan bahan bakar rumah tangga. "Di China, DME telah diproduksi dalam jumlah besar, dengan harga yang lebih rendah daripada LPG. Mereka mencapur DME dengan LPG dan telah diperdagangkan," ungkap Kepala Bidang Energi Baru Terbarukan PTPSE-TIEM BPPT, Erlan Rosyadi.

Aplikasi di Indonesia

Bahan baku DME dari batu bara ini, kata Kepala program DME PTPSE, BPPT, Rohmadi Ridlo, sangat memungkinkan dikembangkan di Indonesia. Pasalnya, keberadaan batu bara ini terpusat dan produksinya cukup besar. Batu bara ini akan memiliki nilai tambah jika diolah menjadi DME.

"Harga batu bara di pasaran sekitar 400 rupiah per kilogram, sedangkan untuk mengubahnya menjadi sekitar satu kilogram DME seharga sekitar 8.000 ribu rupiah dibutuhkan sekitar dua hingga tiga kilogram," kata Rohmadi.

Dari kelayakan bisnis tersebut, bahan baku DME dari batu bara bisa segara diaplikasikan di Indonesia. Dalam focus group discussion pemanfaatan DME sebagai bahan bakar di Jakarta, medio November lalu, diungkapkan sekarang ini status pengembangan DME sedang disusun Peraturan Menteri ESDM tentang penyediaan, pemanfaatan, dan tata niaga DME.

Ditjen Migas bersama dengan Badan Standardisasi Nasional (BSN) dan Kementerian Perindustrian sedang melakukan penyusunan standar infrastruktur penyediaan, pemanfaatan, serta spesifikasi DME. Untuk spesifikasi DME akan ditetapkan setelah spesifikasi peralatan dari BSN dan Kementerian Perindustrian selesai. agung wredho

Sumber :  http://koran-jakarta.com/index.php/detail/view01/106414

Tidak ada komentar:

Posting Komentar