Selasa, 06 September 2011

Antara Pengembangan DME dan Konversi Elpiji


Antara Pengembangan DME dan Konversi ElpijiPDFPrint
Sunday, 05 July 2009
PENGEMBANGANenergi alternatif terus dilakukan pemerintah.Energi alternatif diupayakan untuk mengurangi ketergantungan terhadap BBM.


Di antaranya konversi gas elpiji 3 kg untuk menggantikan minyak tanah, konversi penggunaan BBM untuk kendaraan pribadi, serta transportasi umum kepada BBG (bahan bakar gas).Upaya tersebut telah mulai dilakukan. Salah satu langkah baru yang dilakukan Pertamina adalah mengembangkan dimetil ether (DME) sebagai pengganti elpiji. Pengembangan itu dilakukan untuk bisa mengurangi konsumsi elpiji saat masyarakat sudah mulai beralih dari minyak tanah ke elpiji.

Namun, banyak pihak masih menyangsikan langkah tersebut sebagai upaya serius untuk pengalihan energi. Sebab, konversi minyak tanah ke elpiji sendiri masih belum berjalan baik.Pengembangan ini diperkirakan hanya sebagai upaya bisnis mencari keuntungan semata. Sebab, DME bukanlah energi yang nantinya bisa berdiri sendiri. Penggunaan DME masih akan bergantung pada elpiji. Sebab, sumber ini masih harus dicampurkan dengan elpiji untuk menghasilkan energi yang baik.

Pengamat perminyakan Pri Agung Rakhmanto menilai upaya Pertamina tersebut sebagai langkah mundur. Sebabnya, dengan rencana pengembangan tersebut, Pertamina menjadi tidak fokus untuk mendukung program konversi elpiji yang dicanangkan pemerintah. “Ini tidak lebih dari peluang bisnis semata. Pertamina hanya melihat celah bisnis yang ada.Tentunya ini secara bisnis cukup menguntungkan. Tapi dengan langkah ini, Pertamina menjadi tidak fokus mendukung konversi elpiji tersebut,” ujar Pri Agung kepada Seputar Indonesia.

Menurutdia,Pertaminasemestinya fokus pada pengembangan produksi elpiji,serta infrastruktur yang dibutuhkan. Dalih Pertamina yang mengatakan DME bisa menggantikan elpiji,masih meragukan.Sebab, DME hanya berfungsi sebagai campuran, belum bisa berdiri sendiri. Untuk masyarakat, tentu akan menyulitkan.“Sebab ini kan campuran, di mana elpiji juga masih dibutuhkan. Pemerintah harus memperhatikan ini. Bagaimana harga jual dari energi ini. Apakah lebih mahal atau lebih murah dari elpiji. Kalautidak,ya samasaja,”sebutnya.

Menurut dia,Pertamina harus lebih concern pada energi yang dibutuhkan masyarakat. Langkah ini terkesan sangat profit minded. Ada peluang, langsung diambil, tanpa memikirkan kebutuhan yang sebenarnya. Sebab, yang paling merasakan nantinya adalah masyarakat kecil.Adanya konversi DME,butuh peralatan pendukung. Seperti halnya peralihan kompor minyak ke kompor gas, itu juga akan terjadi pada saat DME digunakan.

“Ini yang harus diperhatikan pemerintah,”tandasnya. Pri Agung memaparkan,upaya konversi energi yang dicanangkan sejak 2005 masih sebatas wacana. Belum ada political will yang kuat dari pemerintah. Sebab, beberapa energi alternatif yang semestinya bisa dikembangkan, justru gerak di tempat. Seperti batu bara yang sangat berguna untuk sumber energi listrik, tidak dimanfaatkan dengan baik.“Belum ada peraturan yang kuat agar batu bara digunakan untuk kepentingan dalam negeri.Padahal potensinya sangat besar,”sebutnya.

Sebagian besar, produksi batu bara justru dijual ke luar negeri. Padahal, kebutuhan dalam negeri tidak kalah besarnya.“Pemerintah tidak punya kemampuan untuk mengaruskan produsen batu bara agar menjualnya ke dalam negeri,” sebutnya. Sumber energi lain yang dianggap potensial, yaitu BBN (bahan bakar nabati), belum dikembangkan secara baik.Adapun upaya yang dilakukan, hanya menyerahkan kepada investor yang mau mengembangkannya.

Padahal semestinya upaya tersebut dilakukan pemerintah. “Itu tidak bisa diserahkan kepada mekanisme pasar. Akibatnya, progresnya sangat lamban,”cetusnya. Agung lantas menggambarkan bagaimana pengembangan energi alternatif yang sudah diupayakan sejak 2005,tetap tak bisa menurunkan ketergantungan BBM. Penggunaan BBM sampai saat ini masih berkisar pada 63%.

Padahal persentase tersebut sudah berlangsung sejak 1990-an. Sementara progres energi alternatif, masih berada di kisaran 3%.“Pergerakan BBM selalu lebih cepat.Apalagi dengan masih terus diberlakukannya subsidi. Ketergantungan terhadap BBM masih sangat tinggi,”sebutnya. Menurutnya,sudah semestinya pemerintah fokus untuk pengembangan sejumlah energi alternatif, seperti untuk listrik yaitu panas bumi,gas dan batu bara.Sementara untuk transportasi, semestinya BBM bisa digantikan BBN.

“Pemerintah Brasil bisa melakukan konversi BBM ke BBN lebih dari 20% karena memang diharuskan pemerintahnya,” sebut Agung. Baru-baru ini Pertamina mengumumkan rencana pengembangan DME sebagai energi alternatif menggantikan elpiji. Pertamina memperkirakan program konversi minyak tanah ke elpiji akan selesai pada 2015.Pada masa itu akan terjadi peningkatan konsumsi yang sangat besar terhadap elpiji.

Peningkatan konsumsi elpiji diperkirakan antara 7-10 juta ton elpiji, di mana sekitar 2-2,5 juta ton akan dipenuhi dari domestik dan sisanya akan diimpor.“ DME untuk mengurangi ketergantungan elpiji pada masa mendatangdanmenciptakanudarayang bersih,” ujar Direktur Pemasaran dan Niaga PT Pertamina Ahmad Faisal,belum lama ini. Menurut Faisal, dengan pengembangan tersebut,nantinya elpiji tidak dipergunakan pada masa mendatang, tetapi sudah DME 100%.Pasalnya, bahan baku DME berupa batu bara muda melimpah di dalam negeri.

“Sedangkan,elpiji nantinya dijual untuk industri,” sebutnya. Dia menargetkan DME akan diproduksi pada 2012 mendatang. Saat ini sedang dilakukan uji coba penggunaan DME untuk di rumah tangga serta usaha kecil dan menengah (UKM).Sementara tahun depan, akan diujicobakan untuk bus kota dan motor diesel. “Harapan kita ke depan, tidak perlu impor solar, tapi dengan menggunakan DME. Kami akan mulai rumah tangga, restoran dan tahun depan uji coba ke bus kota sehingga udara Jakarta akan lebih baik,”tuturnya. Dalam mengembangkan DME tersebut,Pertamina bekerja sama dengan PT Arrtu Mega Energie selaku pengembang kilang.

Dalam pembangunan kilang tersebut, share Pertamina mencapai 20%. President Direktur PT Arrtu Mega Energie Christoforus Richard menuturkan, ada dua kilang yang akan dibangun untuk mengembangkan DME, yakni kilang di Eretan (Indramayu) dan di Panarap (Riau). Total nilai investasi untuk pembangunan dua kilang itu mencapai USD1,9 miliar. Dua kilang itu berkapasitas produksi 1,7 juta ton per tahun dengan rincian 2x400.000 ton diproduksi kilang Eretan dan sisanya di kilang Paranap.

Mengenai harga jualnya, dia mengaku, masih dihitung Pertamina dan Lemigas.“Yang penting harganya nanti lebih murah 20% dari harga elpiji,” sebutnya. Sementara itu, Deputi Direktur Pemasaran Pertamina Hanung Budya menambahkan, harga jual DME belum diputuskan. “Kalau sudah diuji coba akan disurvei,tapi kisarannya tidak jauh dari harga elpiji. Harga harus masuk ke perhitungan keekonomian dan harus cukup menarik bagi konsumen maupun investor,”sebutnya.

Dia menjelaskan,uji coba akan dilakukan selama tiga bulan, dengan uji coba pertama dilakukan kepada 300 rumah tangga dan 150 UKM. Dia mengatakan, jika pengembangan DME ini dijadikan sebagai substitusi elpiji ukuran 3 kg, maka pemerintah seharusnya menyubsidinya. “Untuk tahap awal, kompornya akan diberikan gratis ke masyarakat,”ujarnya.

Negara yang sudah menggunakan DME,di antaranya China, Australia, Jepang, Iran, dan Mesir. Bahkan, Jepang menargetkan tidak akan memakai elpiji lagi pada 2018 mendatang. (juni triyanto) 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar